Perjuangan Papa mencari keadilan atas kriminalisasi dengan
penangkapan sewenang-wenang Polisi yang dilakukan penguasa Sulawesi Utara,
telah menyeret saya, Adik Kakak dan Mama, ke jurang kesulitan ekonomi, sekolah
dan sakit depresi paranoid yang saya harus alami.
Ketika Papa diculik, disekap dan dipenjarakan di Polres Kota
Manado, saat itu saya bersama adik saya Moris baru bertemu kangenan dirumah Oma
dan Opa, 4 hari kami harus mengalami kehilangan kontak dengan Papa. Telpon
genggam Papa tak pernah bisa dihubungi saat kami hubungi.
Kami mulai was-was, namun saya yang paling merasa was-was
dan tegang atas keadaan Papa yang lenyap tanpa kabar. Namun akhirnya kami bisa
mendengar bahwa Papa telah ditangkap dan dipenjarakan di Polres Kota Manado.
Mengetahui Papa dipenjarakan, saya tak bisa mengunjungi Papa,
rasanya saya tak bisa melihat dan mengerti mengapa Papa bisa dipenjarakan.
Hanya adik saya Moris dan kak Risa yang selalu mengunjungi Papa dipenjara.
Papa memang menurut cerita adik saya, memberi kekuatan dan
support agar merasa optimis sebagai pejuang kebenaran dan menyatakan tidak
perlu malu karena Papa dipenjara karena memperjuangkan kebenaran dan
kemanusiaan.
Dalam keadaan tegang, saya akhirnya dapat menyelesaikan
sekolah menengah pertama saya, saya kemudian mengikuti test di SMAN1 Amurang
dan SMAN 1 Manado. Hasilnya, saya dapat masuk dengan lulus nilai terbaik.
Dimana berbarengan dengan itu, kami disiasati dibawah kerumah Gubernur oleh
Steven dan Novel kerumah Gubernur Sulut.
Dimana sehari sebelumnya dibawa ke Mall,tempat makanan dan
dibelanjakan barang kebutuhan Sekolah. Esoknya, kami diajak makan nasi kuning lalu
kemudian dibawah berputar-putar dengan mobil yang berakhir masuk kerumah Dinas
Gubernur Sulawesi Utara.
Disana kami dihadapkan kepada Gubernur Sulut, dan sebelumnya
kami diajak untuk membuat Papa dan Gubernur berdamai. Saya sendiri berpikir apa
yang harus didamaikan saat itu, karena setahuku Papaku tidak pernah bermasalah
dengannya.
Kemudian waktu berjalan, Papaku ditangkap dan dipenjarakan
dengan berbagi tuduhan yang tidak benar. Ini kisahku tentang cinta dari
orang-orang disekitarku, betapa beruntungnya aku yang selalu merasa sendirian
dan cepat bosan sebelumnya, sedikit amnesia akan masa indah di masa kecilku,
ternyata aku punya banyak kenangan indah yang lumayan banyak terlupakan.
Kenapa?
Papaku adalah seorang wartawan senior sekaligus aktivis
kemanusiaan yang juga ikut demo ketika masa Reformasi 1998. Disamping demo, dia
mendirikan Tabloid pertamanya, Tabloid Jejak.
Semasa kecil, aku Tyo adalah anak yang manis yang seperti
anak kecil lainnya suka bermain bersama-sama dengan teman lainnya. Sampai suatu
saat Papaku mengajakku bersama kakak perempuanku untuk pindah ke desa tempat
Oma dan Opaku tinggal. Padahal aku ingin tetap tinggal di Kota, “Pa, Tyo mau
tetep tinggal di kota” dengan polos memohon sekali, Papa tetap membawa kami
pindah ke Desa.
Ternyata tinggal di Desa tak seburuk yang kupikirkan, banyak
kenangan indah sewaktu di Desa. Sampai ketika lulus SD, akupun bersama keluarga
pindah dari Sulawesi ke Jawa ke daerah Tangerang Selatan.
Di sana aku sempat kecewa, melihat rumah yang kami tinggali
begitu kecil, tak seperti yang kubayangkan, padahal kalau mau jujur saat itu,
Papa bisa saja membeli rumah besar di Jakarta, entahlah. Yang ku pikir mungkin
itu semua agar aku bersikap sederhana dan tidak menjadi orang sombong dan
sebagainya.
Akhirnya mulailah kehidupanku di tempat yang baru. Bersama
teman-teman baruku dikontrakan milik orang Ambon, kehidupan yang berbeda
dimulai.
Banyak hal menyenangkan terjadi. Oh iya, hidup sebagai orang
Kristiani yang belum mengenal agama lain dan hanya sekedar tahu dari TV karena
sebelumnya saya tinggal di Sulawesi Utara kampung Boyong Atas yang dimana semua
beragama Kristen, akhirnya di Tangerang Selatan daerah Serua di SMP Dwi Putra
aku bisa melihat banyak hal baru yang berbeda dari pengalamanku sebelumnya. Dan
itulah uniknya Indonesia. Bhinneka Tunggal Ika.
Sampai ke suatu masa dimana hidupku terasa mulai hancur.
Ketika Papaku ingin kembali ke Sulawesi dan ku bilang jangan, karena feeling ku
tak enak ketika Papa mau ke Ujung Pandang untuk suatu bisnis, sampai terus ke
Sulawesi Utara.
Beginilah awalnya, ketika sudah di Sulut dan mendengar isu
dari rekan wartawan lainnya mengenai kasus yang dialami salah satu tokoh Sulut
yang kematiannya misterius, Papaku pun membentuk tim TPF Bulikt(Tim Pencari
Fakta Bunuh Culik Kekerasan dan Teror). Bukannya mendapat apresiasi Papaku
malah dipenjara karena mencoba menguak kasus ini.
Sampai akhirnya aku harus pindah lagi ke Sulawesi ke tempat
Oma dan Opaku untuk melanjutkan study di SMP baru. Saat itu kakakku sudah
kuliah dan adikku masih SD.
Aku sempat kecewa dengan salah satu Guruku yang sempat
menyinggungku katanya, “Biarpun title mau Insinyur, Master, Doktor, Profesor,
kalau masuk penjara buat apa?”. Di saat itu aku sangat kecewa berat. Papaku
masuk penjara bukan karena berbuat dosa atau melanggar hukum. Dalam mata
pelajarannya, aku jadi malas serius belajar mata pelajaran tersebut. Namun di
saat ujian kelulusan, aku bisa lulus dan juara umum.
Ketika itu aku mencoba test masuk di dua sekolah, SMAN 1
Amurang dan SMAN 1 Manado. Dan keduanya masuk 2 besar.
Akupun sebenarnya memilih sekolah di SMAN 1 Amurang karena
dekat dengan keluarga, teman-teman di SMAN Amurang jauh lebih asik dan bisa
masuk akselerasi alias sekolah 2 tahun.
Namun dimulailah, penculikan dimana kakakku dibawa dan juga
membawa aku dan adikku bertemu seorang petinggi di daerahku saat itu.
Sampai di sana, kami diminta menunggu agak lama, kemudian
sang tokoh berkuasa tersebut memberikan teh racikan dan hanya aku yang
meminumnya. Anehnya setelah meminum teh tersebut, apa yang diucapkan oleh orang
yang bermasalah dengan Papaku ini, tak bisa ku perhatikan dengan jelas,
malamnya, aku kejang-kejang.
Ketika itu Papa sudah bebas dan berada di Tangsel.
Saat akhirnya diculik dan pindah sekolah di SMAN 1 Manado,
nilai sekolahku yang awalnya tinggi, mulai menurun, sempat akhirnya menjadi
Ketua Pelayanan Siswa Se-Sulut, aku pun give up karena nilaiku menurun dan itu
tak pantas bahwa ketua pelsis sepertiku tidak menjadi teladan. Aku stress dan
depresi. Aku pun mengirim sms ke Papa yang berisi, “Papa, Mama, Tyo sayang Papa
Mama …”.
Aku pun pindah ke Tangsel lagi dan tinggal bersama kedua
orangtua dan adikku.
Dimulailah aku terkena Paranoid dan Skizofrenia hingga
awalnya ke Psikolog namun karena Psikolog tak mampu memulihkan keadaanku, maka
aku mendapat rujukan pergi ke RSCM Jakarta.
Saat itu aku merasa kehidupanku jadi begitu hancur. Namun
aku mencoba bangkit, dengan support Psikiaterku, Papa Mama dan Kakak Adikku,
Pendeta dan Jemaat di Gerejaku, Teman-teman sekolahku. Aku merasa berarti.
Meski perih, orang yang menghancurkan keluargaku, ku sisipkan dalam doaku agar
dia bertobat dan berubah jadi baik dan hidup benar. Aku melepas doa pengampunan
untuknya.
Seberat apapun masalahmu, dibawahmu masih ada yang lebih lagi
mengalami keadaan sulit, jadi bersyukurlah karena apabila engkau mengalami hal
sulit berarti kau mampu untuk melaluinya. Cinta dan Kasih Sayang masih ada di
muka bumi ini, berbagilah dengan sesama semua hal baik itu. Pahitnya hidup tak
bisa mengalahkan Indah dan Kasih Sayangnya Tuhan YME.
Prasetyo Peuru Henry Putra
Tidak ada komentar:
Posting Komentar